17 Jan 2014

Rumah Kardus (Cerpen)

RUMAH KARDUS

 
“Aku yang dulu bukanlah yang sekarang. Dulu di sayang sekarang ku ditendang.. jreng..jreng..jreng”
Suara lirih seorang anak laki-laki ikut meramaikan suasana senja dalam angkutan umum 112 arah Rambutan- Depok. Dengan skill seadanya dia mulai bernyanyi sambil memainkan sebuah gitar kecil tepat di pinggir pintu angkutan umum. Aku yang memandanginya sejak tadi merasa iba sekaligus geli sendiri melihat aksinya. Dia bernyanyi dengan penuh kepolosan. Sesekali suaranya menghilang, entah karena lupa lirik atau memang dia tak niat bernyanyi, tapi sungguh aku sangat salut dengan kegigihannya.
Angkutan 112 jurusan Rambutan-Depok berhenti tepat di depan sebuah Universitas Swasta di Depok. Setelah angkot berhenti, anak gigih itupun menghentikan nyanyiannya. Dia menutup lagunya dengan beberapa ucapan terimakasih pada penumpang. Sebelum turun, dia menyodorkan sebuah kantung bekas permen yang nampaknya sudah mulai terisi beberapa koin rupiah. Aku merogoh kantongku, dan memasukan beberapa koin ke dalamnya. Dia pun turun dengan ucapan terimakasih yang tulus.
Melihat kegigihan anak tersebut, aku jadi teringat dengan kejadian 3 tahun lalu. Kala itu usiaku baru 12 tahun. Di tahun itu, aku menemukan sebuah pengalaman yang takkan mungkin kulupakan. Sebuah pengalaman yang mengubah pola pikirku. Sebuah pengalaman yang membuka mataku, akan berharganya hidup yang telah Allah berikan.
***
                Waktu menunjukan pukul 12.30 WIB, dan itu tandanya masih ada sekitar 15 menit untuk sekedar melepas penat seusai menerima pelajaran yang cukup menguras tenaga dari tadi pagi. Sambil bersantai menunggu waktu, aku dan keenam sahabatku, Ajeng, Raka, Fadilah, Putri, Naufal, dan Alfi, berbincang-bincang dan sekedar bertukar pikiran.
“Eh, pelajaran kelas 6 makin berat ya. Kita butuh dukungan moral nih” celetuk Raka memulai perbincangan.
“Bener banget lo Rak! Selain do’a dari orangtua, kita juga harus bisa dapet do’a dari orang lain nih” jawab Fadilah menambahkan.
“Kira-kira apa ya caranya? Kita itu butuh suatu kegiatan bermanfaat, untuk diri sendiri dan orang lain. Dan yang pastinya ngasilin pahala. Muehehe” sambung Naufal sedikit bercanda.
“Gimana kalo kita ngajar untuk anak-anak yang nggak mampu?? Bermanfaat! Dan yang jelas Berpahala kan???” jawab Ajeng bersemangat.
Semuanyapun terdiam menedengar ucapan Ajeng yang begitu bersemangat. Kami ingin sekali menjalankan ide Ajeng. Namun di sisi lain, posisi kami sebagai siswa kelas 6, membuat kami ragu dengan apa yang akan kami jalankan.
“KRINGGGGG”
                Bel masuk berbunyi. Kamipun menutup perbincangan dan semuanya kembali ke tempat duduk masing-masing.
***
Waktu berlalu. Setelah cukup lama memikirkan matang-matang tentang ide Ajeng, akhirnya aku dan keenam kawanku sepakat untuk mendirikan sebuah rumah baca dan tulis yang bermarkas di kediaman Putri, dan hanya beroperasi di hari minggu saja. Rumah belajar ini kami namakan “Rumah Kardus”. Entah apa yang ada di dalam fikiran kami ketika kami menobatkan ‘Kardus’ sebagai nama dan brand untuk sekolah kecil-kecilan ini. Kami senang dengan julukan itu. Sekolah baca ini memang seperti kardus. Sering dianggap remeh. Namun sebenarnya, memiliki ribuan manfaat.
Hari pertama dimulai. Aku dan Naufal datang lebih awal pagi itu. Kami terlalu bersemangat untuk menyambut adik-adik kecil yang siap untuk belajar pagi itu. Sampai disana, kami terkejut sekaligus merasa haru. Ternyata, mereka justru datang lebih awal. Dengan pakaian yang begitu sederhana, mereka sudah berdiri di depan pintu pagar rumah Putri dengan raut wajah semangat. Aku dan Naufal pun langsung mempersilahkan mereka semua masuk. Mereka datang dengan membawa sebuah buku lusuh dan juga sebuah pensil yang mereka pegang, tanpa menggunakan tas, atau apapun. Tak beberapa lama, Ajeng, Raka, Fadilah, Naufal dan Vani mulai berdatangan. Kelaspun dimulai tepat pukul 07.30 pagi.
Kelaspun berjalan dengan haru. Aku begitu tersentuh melihat tingkah laku mereka. Mereka begitu semangat menjalani kelas pagi ini. Canda tawa mereka membuatku sadar akan nikmat Allah yang sering kuabaikan begitu saja. “Gumpraangggg” tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari luar. Aku dan Alfi sontak menghampiri asal suara itu.
“Hey! Kamu siapa?” Tanya Alfi membuat seorang anak laki-laki kaget dan diam sejenak. Anak laki-laki itu mengenakan pakaian yang sangat sederhana. Tanpa alas kaki dia berdiri sambil menundukan kepala dihadapanku dan Alfi. “A..ku.. Junaidi kak” jawabnya sedikit gugup. Akhirnya aku dan Alfi mengajaknya masuk ke dalam rumah Putri.
Seusai kelas bubar, aku dan keenam temanku yang lain sengaja menahan Junaidi untuk tetap berada di ruangan. Aku dan yang lainnya mengintrogasi dia saat itu.
“Namamu siapa dik?” Tanya Vani membuka pembicaraan.
“Aku Junaidi kak. Tapi aku biasa dipanggil Juned” jawab Junaidi.
“Kenapa kamu datang dengan cara mengendap-endap seperti itu dik?” Sambung Fadilah.
“A..aku takut kak. Aku nggak punya buku”
“Loh, nggak papa kok dik. Harusnya kamu datang nggak usah dengan mengendap-endap gitu” tambah Raka lembut.
Setelah cukup lama mengintrogasinya, akhirnya aku dan keenam sahabatku mengetahui sedikit tentang kisah hidupnya. Dia adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ayahnya seorang pemulung dan ibunya telah pergi meninggalkannya. Entah kemana, sang ibunda pergi begitu saja dan tak pernah memberi kabar. Usianya 9 tahun. Pada umumnya, anak berusia 9 tahun sudah mampu menulis, membaca, berhitung, bahkan menulis cerita. Namun, berbeda dengannya. Dia tak mengenal huruf ataupun angka. Dia tak dapat membaca, apalagi berhitung. Hatiku bergetar saat mendengar penjelasannya. Hampir-hampir air mataku terjatuh, namun aku menahannya sekuat tenaga. Seketika suasana ruangan hening kala itu.
“Jadi, aku boleh kan kak ikut belajar disini?” ujar Juned memecah suasana.
“Tentu. Mulai minggu depan kamu datang kesini ya. Kamu nggak perlu memikirkan soal buku dan alat tulis. Nanti, kakak-kakak yang ada disini yang akan nyediain untuk kamu.” Ucap Putri meyakinkan Juned.
“Asiikk. Makasih ya kak” jawab Juned dengan rona wajah bahagia.
***
Waktu berlalu. Sudah hampir 3 bulan sekolah kecil ini beroperasi. Banyak canda tawa yang tercipta dari rumah belajar ini. Kadang haru juga menyelimuti tiap detik hari-hari di Rumah Kardus. Kegigihan mereka dalam belajar membuatku sadar. Keadaan yang serba kekurangan memaksa mereka untuk membungkus semua semangat dan harapan mereka untuk masa depan. Miris, namun inilah kenyataannya.
Sepanjang 3 bulan ini, hampir tidak pernah aku menemukan satu peserta didik yang absen ditiap peretemuan. Mereka selalu hadir ditiap pertemuannya. Namun berbeda dengan minggu ini. Kelas kehilangan salah satu personilnya, Juned. Ya, hari ini wajah semangatnya tak nampak di ruang kelas. Aku dan keenam temanku bertanya-tanya. Tak biasanya Juned absen dari pertemuan. Boasanya dia selalu hadir dan selalu datang lebih awal.
Waktu menunjukan pukul 11.00 WIB, kelas akhirnya kosong. Semua anak-anak telah kembali ke rumahnya masing-masing. Biasanya setelah kelas usai, aku dan kelima temanku yang lain langsung kembali ke rumah untuk mengistirahatkan tubuh dan juga fikiran yang telah kami gunakan selama 3 jam penuh. Namun untuk kali ini aku dan yang lainnya sengaja berlama-lama di rumah Putri untuk menunggu Juned.
Detik demi detik berlalu. Sekarang sudah menunjukan pukul 13.00 WIB. Beberapa temanku sudah pulang meninggalkan Rumah Kardus. Hanya tersisa aku, Putri, Fadilah, Naufal dan Alfi saja di tempat. Tak beberapa lama kemudian terdengar suara pagar terbuka. Sontak Naufal menghampirinya. Ditemuinya Juned yang kelelahan. Nafasnya tak beraturan, keringatnya bercucuran, dan wajahnya tampak kusam.
“Kamu kenapa lari Juned??? Ada apa?” Tanya Naufal sambil menghampiri Juned.
Anak laki-laki itu tak menjawab. Iya hanya diam sambil mencoba untuk mengatur nafas. Naufal pun membantunya untuk masuk ke dalam rumah.
                Setelah Juned beristirahat, aku memulai untuk membuka pembicaraan. Keempat teman ku lainnya nampak siap memasang telinga untuk mendengarkan.
“Juned, ada apa? Kok kamu datang kesini sambil lari?”
“Aku takut kak. Tadi aku kabur dari rumah” jawab Juned pelan.
“Kenapa kamu kabur??”
“Sebenernya, bapak ku udah masukin aku ke sebuah pesantren kak. Tapi aku nggak suka dengan tempat itu. Tempatnya kotor, dan kalau kata aku sih, tempat itu nggak pantes disebut pesantren.”
Aku terdiam. Mendengar penjelasannya aku tau tempat mana yang ia maksud. Tempat itu memang sebuah pesantren, namun keadaan bangunannya yang tak terawat menjadikan tempat itu seperti bangunan yang akan roboh. Dan tak butuh biaya besar, kita sudah dapat bersekolah disana.
“Aku nggak suka dengan tempat itu. Di hari pertama aku tinggal disana, aku langsung kabur, aku pulang ke rumah. Tapi, ketika sampai rumah, aku malah dimarahin sama bapak ku kak. Makanya aku kesini.”
“Harusnya kamu jangan kabur-kabur seperti itu Juned” jawab Fadilah sedikit menasehati.
“Kakak! Aku itu pengennya diajarin sama kakak aja. Aku mau belajar sama kakak aja. Aku pengen pinter kak. Aku pengen bisa kayak anak lainnya. Ajarin aku ya kak….”
Allah. Aku tak kuasa mendengarnya. Ucapannya benar-benar membuka fikiranku. Semangatnya begitu tinggi. Apa yang telah ku lakukan selama ini?. Pendidikan bukanlah hal sulit untuk kudapatkan. Namun terkadang, aku menyia-nyiakan apa yang telah ada untukku. Maafkan aku Ya Allah.
                Seketika suasana hening menyelimuti ruangan belajar kecil ini. Semuanya terdiam. Tak ada satupun yang berkomentar. Nampak mimik penyesalan pada wajah tiap orang di ruangan ini. Ucapan Juned benar-benar telah menyihir penghuni ruangan.
***
Waktu terus berlalu. Setelah kejadian itu, Juned terus belajar dan akhirnya dia mampu untuk membaca dan juga berhitung. Meskipun belum sesempurna siswa yang lain, tapi dia sudah berusaha sekuat tenaga.
Menjelang Ujian Nasional, sekolah kecil ini terpaksa ditutup. Dengan alasan ingin fokus, aku dan keenam temanku lainnya menutup Rumah Kardus. Berat rasanya, namun ada konsekuensi yang harus dijalankan. Banyak canda dan tawa yang tercipta di tempat sederhana ini. Haru, semangat, menyelimuti tiap detik perjuangan anak-anak sederhana ini untuk belajar dan terus belajar.
***
Tiga tahun berlalu. Kini semua kejadian yang telah terjadi di masa itu, menjadi kenangan tersendiri untukku. Kadang aku tertawa sendiri bila mengingat kembali mimik wajahku yang kesal menahan emosi karena kejailan anak-anak yang tak pernah usai. Namun, terkadang rasa rindu juga datang menghampiri. Aku rindu melihat wajah-wajah semangat mereka. Aku rindu melihat kekonyolan mereka. Ha… aku merindukannya.
Aku merasa bahagia karena dapat bertemu dengan anak-anak super seperti Juned, dan juga yang lainnya. Aku dapat belajar banyak dari mereka. Kesabaran, keikhlasan, dan masih banyak lagi. Terimakasih ya Allah, Engkau telah memberiku pengalaman yang begitu berharga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar