RUMAH KARDUS
“Aku yang dulu bukanlah yang sekarang.
Dulu di sayang sekarang ku ditendang.. jreng..jreng..jreng”
Suara
lirih seorang anak laki-laki ikut meramaikan suasana senja dalam angkutan umum 112
arah Rambutan- Depok. Dengan skill seadanya dia mulai bernyanyi sambil
memainkan sebuah gitar kecil tepat di pinggir pintu angkutan umum. Aku yang
memandanginya sejak tadi merasa iba sekaligus geli sendiri melihat aksinya. Dia
bernyanyi dengan penuh kepolosan. Sesekali suaranya menghilang, entah karena
lupa lirik atau memang dia tak niat bernyanyi, tapi sungguh aku sangat salut
dengan kegigihannya.
Angkutan
112 jurusan Rambutan-Depok berhenti tepat di depan sebuah Universitas Swasta di
Depok. Setelah angkot berhenti, anak gigih itupun menghentikan nyanyiannya. Dia
menutup lagunya dengan beberapa ucapan terimakasih pada penumpang. Sebelum
turun, dia menyodorkan sebuah kantung bekas permen yang nampaknya sudah mulai
terisi beberapa koin rupiah. Aku merogoh kantongku, dan memasukan beberapa koin
ke dalamnya. Dia pun turun dengan ucapan terimakasih yang tulus.
Melihat
kegigihan anak tersebut, aku jadi teringat dengan kejadian 3 tahun lalu. Kala
itu usiaku baru 12 tahun. Di tahun itu, aku menemukan sebuah pengalaman yang
takkan mungkin kulupakan. Sebuah pengalaman yang mengubah pola pikirku. Sebuah
pengalaman yang membuka mataku, akan berharganya hidup yang telah Allah berikan.
***
Waktu
menunjukan pukul 12.30 WIB, dan itu tandanya masih ada sekitar 15 menit untuk
sekedar melepas penat seusai menerima pelajaran yang cukup menguras tenaga dari
tadi pagi. Sambil bersantai menunggu waktu, aku dan keenam sahabatku, Ajeng,
Raka, Fadilah, Putri, Naufal, dan Alfi, berbincang-bincang dan sekedar bertukar
pikiran.
“Eh, pelajaran kelas 6 makin berat ya.
Kita butuh dukungan moral nih” celetuk Raka memulai perbincangan.
“Bener banget lo Rak! Selain do’a dari
orangtua, kita juga harus bisa dapet do’a dari orang lain nih” jawab Fadilah
menambahkan.
“Kira-kira apa ya caranya? Kita itu
butuh suatu kegiatan bermanfaat, untuk diri sendiri dan orang lain. Dan yang
pastinya ngasilin pahala. Muehehe” sambung Naufal sedikit bercanda.
“Gimana kalo kita ngajar untuk
anak-anak yang nggak mampu?? Bermanfaat! Dan yang jelas Berpahala kan???” jawab
Ajeng bersemangat.
Semuanyapun terdiam menedengar ucapan
Ajeng yang begitu bersemangat. Kami ingin sekali menjalankan ide Ajeng. Namun
di sisi lain, posisi kami sebagai siswa kelas 6, membuat kami ragu dengan apa
yang akan kami jalankan.
“KRINGGGGG”
Bel
masuk berbunyi. Kamipun menutup perbincangan dan semuanya kembali ke tempat
duduk masing-masing.
***
Waktu
berlalu. Setelah cukup lama memikirkan matang-matang tentang ide Ajeng,
akhirnya aku dan keenam kawanku sepakat untuk mendirikan sebuah rumah baca dan
tulis yang bermarkas di kediaman Putri, dan hanya beroperasi di hari minggu
saja. Rumah belajar ini kami namakan “Rumah Kardus”. Entah apa yang ada di
dalam fikiran kami ketika kami menobatkan ‘Kardus’ sebagai nama dan brand untuk
sekolah kecil-kecilan ini. Kami senang dengan julukan itu. Sekolah baca ini
memang seperti kardus. Sering dianggap remeh. Namun sebenarnya, memiliki ribuan
manfaat.
Hari
pertama dimulai. Aku dan Naufal datang lebih awal pagi itu. Kami terlalu
bersemangat untuk menyambut adik-adik kecil yang siap untuk belajar pagi itu.
Sampai disana, kami terkejut sekaligus merasa haru. Ternyata, mereka justru
datang lebih awal. Dengan pakaian yang begitu sederhana, mereka sudah berdiri
di depan pintu pagar rumah Putri dengan raut wajah semangat. Aku dan Naufal pun
langsung mempersilahkan mereka semua masuk. Mereka datang dengan membawa sebuah
buku lusuh dan juga sebuah pensil yang mereka pegang, tanpa menggunakan tas,
atau apapun. Tak beberapa lama, Ajeng, Raka, Fadilah, Naufal dan Vani mulai
berdatangan. Kelaspun dimulai tepat pukul 07.30 pagi.
Kelaspun
berjalan dengan haru. Aku begitu tersentuh melihat tingkah laku mereka. Mereka
begitu semangat menjalani kelas pagi ini. Canda tawa mereka membuatku sadar
akan nikmat Allah yang sering kuabaikan begitu saja. “Gumpraangggg” tiba-tiba
terdengar suara benda jatuh dari luar. Aku dan Alfi sontak menghampiri asal
suara itu.
“Hey! Kamu
siapa?” Tanya Alfi membuat seorang anak laki-laki kaget dan diam sejenak. Anak
laki-laki itu mengenakan pakaian yang sangat sederhana. Tanpa alas kaki dia
berdiri sambil menundukan kepala dihadapanku dan Alfi. “A..ku.. Junaidi kak”
jawabnya sedikit gugup. Akhirnya aku dan Alfi mengajaknya masuk ke dalam rumah
Putri.
Seusai
kelas bubar, aku dan keenam temanku yang lain sengaja menahan Junaidi untuk
tetap berada di ruangan. Aku dan yang lainnya mengintrogasi dia saat itu.
“Namamu siapa dik?” Tanya Vani membuka
pembicaraan.
“Aku Junaidi kak. Tapi aku biasa dipanggil
Juned” jawab Junaidi.
“Kenapa kamu datang dengan cara
mengendap-endap seperti itu dik?” Sambung Fadilah.
“A..aku takut kak. Aku nggak punya
buku”
“Loh, nggak papa kok dik. Harusnya
kamu datang nggak usah dengan mengendap-endap gitu” tambah Raka lembut.
Setelah
cukup lama mengintrogasinya, akhirnya aku dan keenam sahabatku mengetahui
sedikit tentang kisah hidupnya. Dia adalah anak kedua dari dua bersaudara.
Ayahnya seorang pemulung dan ibunya telah pergi meninggalkannya. Entah kemana,
sang ibunda pergi begitu saja dan tak pernah memberi kabar. Usianya 9 tahun.
Pada umumnya, anak berusia 9 tahun sudah mampu menulis, membaca, berhitung,
bahkan menulis cerita. Namun, berbeda dengannya. Dia tak mengenal huruf ataupun
angka. Dia tak dapat membaca, apalagi berhitung. Hatiku bergetar saat mendengar
penjelasannya. Hampir-hampir air mataku terjatuh, namun aku menahannya sekuat
tenaga. Seketika suasana ruangan hening kala itu.
“Jadi, aku boleh kan kak ikut belajar
disini?” ujar Juned memecah suasana.
“Tentu. Mulai minggu depan kamu datang
kesini ya. Kamu nggak perlu memikirkan soal buku dan alat tulis. Nanti,
kakak-kakak yang ada disini yang akan nyediain untuk kamu.” Ucap Putri
meyakinkan Juned.
“Asiikk. Makasih ya kak” jawab Juned
dengan rona wajah bahagia.
***
Waktu
berlalu. Sudah hampir 3 bulan sekolah kecil ini beroperasi. Banyak canda tawa
yang tercipta dari rumah belajar ini. Kadang haru juga menyelimuti tiap detik
hari-hari di Rumah Kardus. Kegigihan mereka dalam belajar membuatku sadar.
Keadaan yang serba kekurangan memaksa mereka untuk membungkus semua semangat
dan harapan mereka untuk masa depan. Miris, namun inilah kenyataannya.
Sepanjang
3 bulan ini, hampir tidak pernah aku menemukan satu peserta didik yang absen
ditiap peretemuan. Mereka selalu hadir ditiap pertemuannya. Namun berbeda
dengan minggu ini. Kelas kehilangan salah satu personilnya, Juned. Ya, hari ini
wajah semangatnya tak nampak di ruang kelas. Aku dan keenam temanku
bertanya-tanya. Tak biasanya Juned absen dari pertemuan. Boasanya dia selalu
hadir dan selalu datang lebih awal.
Waktu
menunjukan pukul 11.00 WIB, kelas akhirnya kosong. Semua anak-anak telah
kembali ke rumahnya masing-masing. Biasanya setelah kelas usai, aku dan kelima
temanku yang lain langsung kembali ke rumah untuk mengistirahatkan tubuh dan
juga fikiran yang telah kami gunakan selama 3 jam penuh. Namun untuk kali ini
aku dan yang lainnya sengaja berlama-lama di rumah Putri untuk menunggu Juned.
Detik demi
detik berlalu. Sekarang sudah menunjukan pukul 13.00 WIB. Beberapa temanku
sudah pulang meninggalkan Rumah Kardus. Hanya tersisa aku, Putri, Fadilah,
Naufal dan Alfi saja di tempat. Tak beberapa lama kemudian terdengar suara
pagar terbuka. Sontak Naufal menghampirinya. Ditemuinya Juned yang kelelahan. Nafasnya
tak beraturan, keringatnya bercucuran, dan wajahnya tampak kusam.
“Kamu kenapa lari Juned??? Ada apa?”
Tanya Naufal sambil menghampiri Juned.
Anak laki-laki itu tak menjawab. Iya
hanya diam sambil mencoba untuk mengatur nafas. Naufal pun membantunya untuk
masuk ke dalam rumah.
Setelah
Juned beristirahat, aku memulai untuk membuka pembicaraan. Keempat teman ku
lainnya nampak siap memasang telinga untuk mendengarkan.
“Juned, ada apa? Kok kamu datang
kesini sambil lari?”
“Aku takut kak. Tadi aku kabur dari
rumah” jawab Juned pelan.
“Kenapa kamu kabur??”
“Sebenernya, bapak ku udah masukin aku
ke sebuah pesantren kak. Tapi aku nggak suka dengan tempat itu. Tempatnya
kotor, dan kalau kata aku sih, tempat itu nggak pantes disebut pesantren.”
Aku terdiam. Mendengar penjelasannya
aku tau tempat mana yang ia maksud. Tempat itu memang sebuah pesantren, namun keadaan
bangunannya yang tak terawat menjadikan tempat itu seperti bangunan yang akan
roboh. Dan tak butuh biaya besar, kita sudah dapat bersekolah disana.
“Aku nggak suka dengan tempat itu. Di
hari pertama aku tinggal disana, aku langsung kabur, aku pulang ke rumah. Tapi,
ketika sampai rumah, aku malah dimarahin sama bapak ku kak. Makanya aku
kesini.”
“Harusnya kamu jangan kabur-kabur
seperti itu Juned” jawab Fadilah sedikit menasehati.
“Kakak! Aku itu pengennya diajarin
sama kakak aja. Aku mau belajar sama kakak aja. Aku pengen pinter kak. Aku
pengen bisa kayak anak lainnya. Ajarin aku ya kak….”
Allah. Aku tak kuasa mendengarnya.
Ucapannya benar-benar membuka fikiranku. Semangatnya begitu tinggi. Apa yang
telah ku lakukan selama ini?. Pendidikan bukanlah hal sulit untuk kudapatkan.
Namun terkadang, aku menyia-nyiakan apa yang telah ada untukku. Maafkan aku Ya
Allah.
Seketika
suasana hening menyelimuti ruangan belajar kecil ini. Semuanya terdiam. Tak ada
satupun yang berkomentar. Nampak mimik penyesalan pada wajah tiap orang di
ruangan ini. Ucapan Juned benar-benar telah menyihir penghuni ruangan.
***
Waktu
terus berlalu. Setelah kejadian itu, Juned terus belajar dan akhirnya dia mampu
untuk membaca dan juga berhitung. Meskipun belum sesempurna siswa yang lain,
tapi dia sudah berusaha sekuat tenaga.
Menjelang
Ujian Nasional, sekolah kecil ini terpaksa ditutup. Dengan alasan ingin fokus,
aku dan keenam temanku lainnya menutup Rumah Kardus. Berat rasanya, namun ada
konsekuensi yang harus dijalankan. Banyak canda dan tawa yang tercipta di
tempat sederhana ini. Haru, semangat, menyelimuti tiap detik perjuangan
anak-anak sederhana ini untuk belajar dan terus belajar.
***
Tiga tahun
berlalu. Kini semua kejadian yang telah terjadi di masa itu, menjadi kenangan
tersendiri untukku. Kadang aku tertawa sendiri bila mengingat kembali mimik
wajahku yang kesal menahan emosi karena kejailan anak-anak yang tak pernah
usai. Namun, terkadang rasa rindu juga datang menghampiri. Aku rindu melihat
wajah-wajah semangat mereka. Aku rindu melihat kekonyolan mereka. Ha… aku
merindukannya.
Aku merasa
bahagia karena dapat bertemu dengan anak-anak super seperti Juned, dan juga
yang lainnya. Aku dapat belajar banyak dari mereka. Kesabaran, keikhlasan, dan
masih banyak lagi. Terimakasih ya Allah, Engkau telah memberiku pengalaman yang
begitu berharga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar