29 Des 2014

K.H Agus Salim "The Grand Old Man"


"The Grand Old Man!" begitulah sebutan yang diberikan oleh sang plokamator kepada Pak Tua satu ini. Lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, pada 8 Oktober 1884, bungsu dari 4 bersaudara ini memiliki  andil yang cukup besar dalam perkembangan diplomasi Indonesia.
Ayahnya adalah seorang Jaksa di Pengadilan Tinggi Riau. Dengan kedudukan ayahnya sebagai seorang yang terpandang, kehidupan pendidikannya pun bisa dibilang mulus.


Pendidikan dasar ia tempuh di sekolah khusus anak-anak Eropa, Europeesche Lagere School (ELS). Kemudian Salim melanjutkan studi nya ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Saat lulus, ia mendapatkan predikat sebagai lulusan terbaik HBS se-Hindia Belanda. Setelah menamatkan sekolahnya di Batavia, Salim ingin melanjutkan studinya ke Belanda dan mendalami ilmu kedokteran. Namun, keadaan keluarga yang tidak memungkinkan membuatnya harus mengubur keinginannya. Terlepas dari semua itu, akhirnya ia memilih untuk pergi ke Jeddah, Arab Saudi, dan bekerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda yang ada disana. Selain bekerja, di Jeddah ia juga mendalami ilmu-ilmu Islam bersama Syeh Ahmad Khatib, imam Masjidil Haram yang masih pamannya. 

Singkat cerita, karirnya di dunia politik dimulai saat ia mulai bergabung ke dalam Sarekat Islam yang dipimpin oleh H.O.S Tjokroaminoto. Selama bergabung dengan SI ia pernah menggantikan Tjokroamonito, dan memimpin SI. 
Selain menjadi tokoh SI, Agus Salim juga merupakan salah satu pendiri Jong Islamieten Bond. Dalam kongres Jong Islamieten Bond, Agus Salim menyatukan tempat duduk perempuan dan laki-laki. ”Ajaran dan semangat Islam memelopori emansipasi perempuan,” ujarnya. 
Agus Salim juga pernah menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada akhir kekuasaan Jepang. Ketika Indonesia merdeka, dia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. 

Salim menjadi Mentri Luar Negri Indonesia pada masa kekuasaan kabinet Sjahrir I dan II. Pada masa karirnya sebagai diplomat, ia telah menorehkan banyak hasil yang begitu berarti untuk Indonesia. Berkat kepiawaiannya dalam berdiplomasi, pengakuan de jure yang ia ajukan kepada negara-negara Timur Tengah membuahkan hasil. Beberapa tahun berada di negeri orang, usahanya membuahkan hasil. Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia. Setelah Mesir, negara-negara Timur Tengah seperti, Suriah, Irak, Lebanon, Yaman, Arab Saudi, dan Afghanistan, juga turut memberikan pengakuannya terhadap kemerdekaan Indonesia.

Setelah cukup lama berkiprah dalam dunia politik, Salim pun memutuskan untuk berhenti.Namun sepertinya, tokoh yang satu ini tak pernah habis akal untuk mengisi hidupnya dengan hal-hal yang berarti. Pada tahun 1953, ia mulai menulis dan menghasilkan beberapa karya seperti, Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.

K.H Agus Salim menutup hidupnya pada 4 November 1954. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Kiprahnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia patut diapresiasi oleh seluruh bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar