17 Agu 2015

Selamat Ulang Tahun Indonesia yang ke-70


Tepat di tanggal 17 agustus 1945 pukul 10.00 WIB silam, Indonesia dengan bebas mengibarkan sang saka merah putih. Bendera negara pertama, karya tangan terampil istri sang proklamator, Fatmawati. Hari ini, tanggal itu terulang untuk yang ke-70-kalinya. Bukan angka yang sedikit untuk usia sebuah negara. Seperti perayaan hari kemerdekaan tahun-tahun sebelumnya, tak ada yang berbeda. Upacara dilaksanakan di tiap penjuru kota. Merayakan hari jadi Indonesia tercinta, yang kini sudah tak muda lagi.




Pagi ini, aku sengaja berangkat pagi untuk mengikuti upacara bendera di sekolah ku. Jujur saja, aku antusias mengikuti upacara kali ini karena aku ingin melihat aksi pasukan pengibar bendera yang bertugas mengibarkan sang Saka Merah Putih. Upacara berlangsung baik. Setelah pasukan pengibar sukses membawa sang Merah Putih sampai ke puncak tertinggi, tibalah sesi Pembina untuk memberikan beberapa amanat. Pada upacara-upacara sebelumnya, kalau boleh jujur, aku hanya sekedar mendengarkan tanpa meresapi apa makna dari tiap kata yang telah keluar dari mulut Pembina. Untuk anak seusiaku, mungkin sesi amanat Pembina ini merupakan sesi yang sangat menyebalkan, belum lagi jika kebetulan Pembina yang bertugas berbicara terlalu banyak hingga membuat kaki terasa begitu pegal. Belum lagi sinar matahari yang langsung menyorot ke arah peserta upacara. Suasana makin tak terkendali apabila sesi ini berlangsung.

Namun, berbeda dengan hari ini. Pembina tak hanya memberi amanat. Beliau juga menyampaikan sambutan dan beberapa pesan yang berasal dari bapak mentri pendidikan, Anies Baswedan. Entah, apa yang membuatku antusias mendengarnya. Mungkin, karena bapak kepala sekolah menyampaikannya dengan nada yang baik. Aku begitu tertarik dengan apa yang dibacakan oleh bapak kepala sekolah pagi ini. Tiap kata yang ada dalam secarik kertas itu membuat fokusku tersedot sepenuhnya ke arah bapak kepala sekolah. Ada beberapa kalimat yang membuatku diam sejenak. Memikirkan, bahwa ada benarnya juga perkataan yang telah diketik di selembar kertas itu.


“Hari ini kita hanya perlu beberapa menit saja untuk membuat Sang Merah Putih berada di puncak dan berkibar dengan anggun. Mari kita sadari bahwa perlu puluhan tahun bagi para Perintis Kemerdekaan untuk membuat Sang Merah Putih sampai di puncak. Waktu panjang yang sesak dera perjuangan.”

“Hari ini kalian merayakan 70 tahun Indonesia merdeka, harap dicamkan baik-baik bahwa saat Indonesia merayakan 100 tahun kemerdekaan maka kalianlah yang akan memimpin dan mengelola perjalanan bangsa ini.”


Entah mengapa, kalimat-kalimat itu cukup membuatku diam. Di hari ini, Indonesia bisa merasakan 70 tahun kemerdekaannya. Indonesia bisa mengibarkan Sang Merah Putih di usia ke-70. Mendengar angka 70 aku jadi teringat dengan beberapa kisah yang pernah kudengar. Sebenarnya ini bukan hanya sekedar ‘kisah’. Melainkan kenyataan yang pernah terlukis dalam sejarah perjalanan kehidupan dunia ini.

Tepat di usia ke-70, Uni Sovyet hilang dari peta dunia. Tepat di hari jadinya ke-70, Uni Sovyet terpecah menjadi 15 negara merdeka. Negara Balkan Yugoslavia juga terpecah menjadi 6 negara merdeka pada usia ke-70. Kerajaan Sriwijaya yang terkenal dengan armada lautnya yang sangat kuat, pecah pada usia ke-70 (abad ke-7). Kerajaan Majapahit, sepeninggalan Gajah Mada juga terpecah pada usia ke-70. Apakah nasib ini juga akan terjadi pada Indonesia? Semoga saja tidak.

Di hari ini, boleh jadi kita tidak peduli dengan apa yang akan terjadi pada keadaan negara kita. Yang ada dalam fikiran hanyalah hidup layak, dan bisa tidur nyenyak. Boleh jadi kita tidak peduli dengan bentuk negara ini. Mau itu Republik, Federal, atau apapun, yang terpenting saat ini adalah ‘hidup layak’. Mengapa hal seperti itu bisa terjadi? Haruskah kita menyalahkan diri sendiri sebagai rakyat yang mendiami negri ini?. Sebenarnya, tak sepenuhnya kesalahan ada pada masyarakat yang kini sudah mulai tak peduli dengan keadaan negri nya sendiri. Ada asap, pasti ada api. Coba kita lihat pemimpin yang kini mewakili seluruh masyarakat Indonesia. Mereka sibuk dengan diri mereka sendiri. Berebut daerah kekuasaan tanpa melihat apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh rakyatnya. Jadi, jangan sepenuhnya salahkan masyarakat apabila kini, mereka sudah tak begitu peduli dengan urusan negara.

Kembali pada kalimat yang ada dalam secarik kertas dari bapak mentri pendidikan. Tanpa disadari, 30 tahun lagi, kita lah yang akan memimpin negara ini. Nasib kemerdekaan Indonesia ada di tangan kita. Tepat di usia Indonesia yang ke-100, kita lah yang akan menentukan, mau dibawa kemana negara ini. Beban itu ada, dan tak bisa dihindari. Jangan selalu berfikiran apa yang telah negara ini beri untuk hidup kita. Tapi apa yang telah kita beri untuk negara ini selama hidup kita.

Mungkin, di usia yang masih belasan seperti ini, masih belum banyak yang dapat kita lakukan. Tapi apa salahnya jika kita mencoba merubah negara ini menjadi lebih baik, dengan hal-hal kecil?. Contoh mudah, adalah dengan tidak membedakan satu sama lain. Bisa jadi, dengan kita terus-terusan meledek Bekasi sebagai planet ke-9, Bekasi mau melepaskan diri dari Indonesia menjadi Negara Bekasi Merdeka. Siapa yang tau kan? Hehe. Mulailah untuk berfikir bahwa apapun yang kita lakukan di dunia ini bukan semata-mata untuk kepuasan pribadi. Niatkan semua hal baik yang kalian lakukan adalah untuk Tuhan dan untuk kebahagiaan bersama. Saat kita bisa menciptakan kebersamaan, bukan tak mungkin persatuan di negri ini akan tetap terjalin.  Selain itu, kita juga bisa memulainya dengan lebih mendekatkan diri dengan Tuhan. Karena bagaimanapun juga, ketaqwaan merupakan komponen yang begitu penting dalam proses perbaikan diri. 

Hal-hal tersebut memang terlihat kecil dan sepele, tapi ingat, kata guru sejarahku, “Kita dijajah oleh bangsa lain hingga beratus-ratus tahun lamanya, hanya karena benda kecil macam rempah-rempah”.

Selamat Ulang Tahun Indonesiaku!

Semoga di usiamu yang ke-100 nanti, aku telah memberikan sesuatu kepadamu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar