Tepat di tanggal 17 agustus 1945
pukul 10.00 WIB silam, Indonesia dengan bebas mengibarkan sang saka merah
putih. Bendera negara pertama, karya tangan terampil istri sang proklamator,
Fatmawati. Hari ini, tanggal itu terulang untuk yang ke-70-kalinya. Bukan angka
yang sedikit untuk usia sebuah negara. Seperti perayaan hari kemerdekaan
tahun-tahun sebelumnya, tak ada yang berbeda. Upacara dilaksanakan di tiap
penjuru kota. Merayakan hari jadi Indonesia tercinta, yang kini sudah tak muda
lagi.
Pagi ini, aku sengaja berangkat
pagi untuk mengikuti upacara bendera di sekolah ku. Jujur saja, aku antusias
mengikuti upacara kali ini karena aku ingin melihat aksi pasukan pengibar
bendera yang bertugas mengibarkan sang Saka Merah Putih. Upacara berlangsung
baik. Setelah pasukan pengibar sukses membawa sang Merah Putih sampai ke puncak
tertinggi, tibalah sesi Pembina untuk memberikan beberapa amanat. Pada upacara-upacara
sebelumnya, kalau boleh jujur, aku hanya sekedar mendengarkan tanpa meresapi
apa makna dari tiap kata yang telah keluar dari mulut Pembina. Untuk anak
seusiaku, mungkin sesi amanat Pembina ini merupakan sesi yang sangat
menyebalkan, belum lagi jika kebetulan Pembina yang bertugas berbicara terlalu
banyak hingga membuat kaki terasa begitu pegal. Belum lagi sinar matahari yang
langsung menyorot ke arah peserta upacara. Suasana makin tak terkendali apabila
sesi ini berlangsung.
Namun, berbeda dengan hari ini. Pembina
tak hanya memberi amanat. Beliau juga menyampaikan sambutan dan beberapa pesan
yang berasal dari bapak mentri pendidikan, Anies Baswedan. Entah, apa yang
membuatku antusias mendengarnya. Mungkin, karena bapak kepala sekolah
menyampaikannya dengan nada yang baik. Aku begitu tertarik dengan apa yang
dibacakan oleh bapak kepala sekolah pagi ini. Tiap kata yang ada dalam secarik
kertas itu membuat fokusku tersedot sepenuhnya ke arah bapak kepala sekolah.
Ada beberapa kalimat yang membuatku diam sejenak. Memikirkan, bahwa ada
benarnya juga perkataan yang telah diketik di selembar kertas itu.
“Hari ini kita hanya perlu beberapa menit saja untuk membuat Sang Merah
Putih berada di puncak dan berkibar dengan anggun. Mari kita sadari bahwa perlu
puluhan tahun bagi para Perintis Kemerdekaan untuk membuat Sang Merah Putih
sampai di puncak. Waktu panjang yang sesak dera perjuangan.”
“Hari ini kalian merayakan 70 tahun Indonesia merdeka, harap dicamkan
baik-baik bahwa saat Indonesia merayakan 100 tahun kemerdekaan maka kalianlah yang
akan memimpin dan mengelola perjalanan bangsa ini.”
Entah mengapa, kalimat-kalimat
itu cukup membuatku diam. Di hari ini, Indonesia bisa merasakan 70 tahun
kemerdekaannya. Indonesia bisa mengibarkan Sang Merah Putih di usia ke-70. Mendengar
angka 70 aku jadi teringat dengan beberapa kisah yang pernah kudengar. Sebenarnya
ini bukan hanya sekedar ‘kisah’. Melainkan kenyataan yang pernah terlukis dalam
sejarah perjalanan kehidupan dunia ini.
Tepat di usia ke-70, Uni Sovyet
hilang dari peta dunia. Tepat di hari jadinya ke-70, Uni Sovyet terpecah
menjadi 15 negara merdeka. Negara Balkan Yugoslavia juga terpecah menjadi 6
negara merdeka pada usia ke-70. Kerajaan Sriwijaya yang terkenal dengan armada
lautnya yang sangat kuat, pecah pada usia ke-70 (abad ke-7). Kerajaan Majapahit,
sepeninggalan Gajah Mada juga terpecah pada usia ke-70. Apakah nasib ini juga
akan terjadi pada Indonesia? Semoga saja tidak.
Di hari ini, boleh jadi kita
tidak peduli dengan apa yang akan terjadi pada keadaan negara kita. Yang ada
dalam fikiran hanyalah hidup layak, dan bisa tidur nyenyak. Boleh jadi kita
tidak peduli dengan bentuk negara ini. Mau itu Republik, Federal, atau apapun,
yang terpenting saat ini adalah ‘hidup layak’. Mengapa hal seperti itu bisa
terjadi? Haruskah kita menyalahkan diri sendiri sebagai rakyat yang mendiami
negri ini?. Sebenarnya, tak sepenuhnya kesalahan ada pada masyarakat yang kini
sudah mulai tak peduli dengan keadaan negri nya sendiri. Ada asap, pasti ada
api. Coba kita lihat pemimpin yang kini mewakili seluruh masyarakat Indonesia. Mereka
sibuk dengan diri mereka sendiri. Berebut daerah kekuasaan tanpa melihat apa
yang sebenarnya dibutuhkan oleh rakyatnya. Jadi, jangan sepenuhnya salahkan
masyarakat apabila kini, mereka sudah tak begitu peduli dengan urusan negara.
Kembali pada kalimat yang ada
dalam secarik kertas dari bapak mentri pendidikan. Tanpa disadari, 30 tahun
lagi, kita lah yang akan memimpin negara ini. Nasib kemerdekaan Indonesia ada
di tangan kita. Tepat di usia Indonesia yang ke-100, kita lah yang akan
menentukan, mau dibawa kemana negara ini. Beban itu ada, dan tak bisa dihindari.
Jangan selalu berfikiran apa yang telah negara ini beri untuk hidup kita. Tapi apa
yang telah kita beri untuk negara ini selama hidup kita.
Mungkin, di usia yang masih
belasan seperti ini, masih belum banyak yang dapat kita lakukan. Tapi apa
salahnya jika kita mencoba merubah negara ini menjadi lebih baik, dengan
hal-hal kecil?. Contoh mudah, adalah dengan tidak membedakan satu sama lain. Bisa
jadi, dengan kita terus-terusan meledek Bekasi sebagai planet ke-9, Bekasi mau
melepaskan diri dari Indonesia menjadi Negara Bekasi Merdeka. Siapa yang tau
kan? Hehe. Mulailah untuk berfikir bahwa apapun yang kita lakukan di dunia ini
bukan semata-mata untuk kepuasan pribadi. Niatkan semua hal baik yang kalian
lakukan adalah untuk Tuhan dan untuk kebahagiaan bersama. Saat kita bisa
menciptakan kebersamaan, bukan tak mungkin persatuan di negri ini akan tetap
terjalin. Selain itu, kita juga bisa
memulainya dengan lebih mendekatkan diri dengan Tuhan. Karena bagaimanapun
juga, ketaqwaan merupakan komponen yang begitu penting dalam proses perbaikan
diri.
Hal-hal tersebut memang terlihat kecil dan sepele, tapi ingat, kata guru
sejarahku, “Kita dijajah oleh bangsa lain hingga beratus-ratus tahun lamanya,
hanya karena benda kecil macam rempah-rempah”.
Selamat Ulang Tahun Indonesiaku!
Semoga di usiamu yang ke-100
nanti, aku telah memberikan sesuatu kepadamu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar